Selasa, 06 Juli 2010

Joachim Loew "Superman" dari Jerman

Salah satu otak dibalik sukses "der panzer" tampil mengesankan di Africa adalah sosok sang pelatih: Joachim Loew!. Dia mungkin tak setenar Juergen Klinsmann atau Frans Beckenbauer, tapi sekarang seluruh "penggila" bola dari seluruh pelosok bumi dipastikan mengenalnya.
Selalu tampil "nyentrik" bergaya pria metroseksual umumnya, dengan stelan baju putih dipadu sweater corak kura-kura dilengkapi sehelai syal, sosok Joachim Loew melengkapi aksi kerennya dengan mengantar Jerman (saat posting tulisan ini) menembus semifinal.

Pelatih kelahiran Schonau, Jerman Barat 03 Februari 1960 ini terlahir dan terbina dari kultur masyarakat postmodern, yang memahami aksioma bahwa kekerasan memancing dendam, karena itu jangan membalas kekerasan dengan kekerasan. Hal inilah yang kemudian ia tanamkan pada anak didiknya saat saat hendak bertanding.

Loew tidak sebatas tampil ngepop dengan syalnya, melainkan tampil ngetren dengan alur bola deras dari moralitas bahwa cinta dan benci adalah kekuatan asasi dari setiap laga.

Sampai-sampai salah satu legenda sepak bola Jerman Franz Beckenbauer menyatakan, "Jerman tak pernah bermain seperti ini. Cara dan gaya mereka bermain fantastis. Setiap orang bergerak, ingin menguasai bola. Semangat tim ini luar biasa".

Kalau Inggris berbangga dengan gaya sepak bola "kick and rush", maka Jerman di bawah asuhan Loew berbangga dengan pakem sepak bola "ubermensch" (superman). Ingin menjadi "superman" seperti Loew?

Superman tampil sebagai sosok tanpa tenggang rasa pada setiap kekalahan, kepengecutan dan kejijikan. Loew mendaulat kepada setiap serdadunya agar tidak menjadi benalu bagi mitranya.

Boleh dibilang Loew berguru kepada Nietzsche yang memproklamsikan bahwa untuk semua orang, hanya ada satu tindakan yaitu cinta dan benci, balas budi dan balas dendam, kebaikan dan kemarahan, penolakan dan pengiyaan.

Loew bersama pasukan mudanya melafalkan diktat kehidupan dari Nietzsche dengan berkata ya kepada mesin menyeramkan yang efektif dan efisien dalam setiap laga. Salah satu pemain veteran Inggris, Gary Lineker mengemukakan sisi brutalitas dalam sepak bola.

"Pada hakekatnya, sepak bola adalah laga yang dilakoni oleh 22 pemain yang saling berburu, saling berkejar-kejaran. Mereka memainkan dan mengirimkan bola untuk meraih kemenangan dengan mengalahkan lawan...Dan Jerman selalu memenangi pertandingan," katanya.

Selain memahami esensi dari sepak bola yang ingin saling mengalahkan, Loew memainkan kartu multikulturalisme sebagai ciri masyarakat Jerman. Dalam keragaman etnis tersimpan dinamisme yang siap menggilas setiap lawan karena yang ada hanya dua kata saja, yakni bertahan hidup!

Mezut Oezil terlahir sebagai generasi ketiga keturunan Turki-Jerman. Mario Gomez memiliki ayah berkebangsaan Spanyol. Ayah Sami Khedira berasal dari Tunisia. Tiga pemain masing-masing Podolski, Miroslav Klose dan Piotr Trochowski lahir di Polandia.

Cacau - dengan nama Claudemir Jeronimo Barreto - lahir di Brasil dan baru tiba di Jerman sepuluh tahun lalu. Bahkan ia baru menerima paspor Jerman setelah bergabung dalam skuad Timnas Jerman. Marko Marin keturunan Bosnia dan Serdar Tasci punya orangtua berwarganegara Turki.

Loew mengandalkan dan menerapkan salah satu cengkok "melting pot". Lebih lagi, Loew menilai keragaman sebagai kekuatan.

Bek kanan Lahm mengomentari, "Saya melihatnya sederhana saja. Hampir semua pemain lahir dan besar di Jerman. Mereka ingin berbuat yang terbaik bagi tanah airnya yang satu yakni Jerman".

Selain menghormati sisi multikultural, Loew memahami nilai tradisional Jerman sebagai kekuatan.

"Dua tahun saya bekerja. Saya paham nilai-nilai yang dihormati masyarakat Jerman umumnya, yakni kekuatan, ketegaran, kecepatan dan kerja keras. Dengan begitu, kami dapat menyajikan sepak bola atraktif. Kami tidak gentar kepada tim manapun," katanya.

Sekarang mesin tempur Jerman siap menderu dan melumat setiap seteru. Kata kuncinya dinamis seperti penampilan Bastian Schweinsteiger atau kokoh seperti Arne Friedrich.

Harian Der Spiegel memotret ketangguhan timnas Jerman di bawah asuhan Loew dengan menurunkan tanya jawab antara salah seorang warga negara Jerman keturunan, Ibrahim Bassal bersama dengan putranya. "Apa yang kamu cintai dan kasihi sekarang ini," tanya Bassal. "Jerman," jawab putranya tanpa ragu sedikitpun.

Ingin jadi "superman" seperti Loew? Jawabnya, hormatilah dan himpunlah keragaman. Ingin punya timnas sekuat dan sekokoh timnas Jerman? Jawabnya, cintailah dan berbanggalah dengan negeri sendiri.

Jawabnya: Nasionalisme!

Baca Juga Koleksi Artikel Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar