Suara seperti dorongan gerobak membuat
saya terjaga, suara yang terdengar lebih keras dari suara air hujan pagi ini memaksa saya bangun lebih awal meskipun ini adalah hari minggu, hari yang
sebagian orang menyebutnya sebagai hari leyeh-leyeh
nasional.
Dinginnya pagi membuat saya
enggan “bersahabat” dengan kamar mandi kali ini, ditambah hasil seri pertandingan
Liverpool dinihari tadi semakin meyakinkan saya kalau melanjutkan tidur dan leyeh-leyeh di atas kasur adalah
keputusan paling bijak realistis saat ini, apalagi dirumah lagi sendirian,
cocok!. Tapi saya masih punya hutang, hutang buat mandi pagi ini setelah
kemarin sore absen untuk tidak mandi dengan alesan klasik, dingin!
*masak air*
05.30
Tampak dari jendela samping rumah
hujan di luar masih deras, mata saya tertuju ke halaman rumah tetangga yang
biasanya disewakan buat tempat “parkir” gerobak penjual bolang-baling. Halamannya
kosong, rupanya suara dorongan gerobak subuh tadi adalah suara gerobak penjual bolang-baling.
Tapi apa iya hujan deras begini jualan? Masa iya dari rumah yang jaraknya
lumayan jauh dia rela hujan-hujanan buat ambil gerobak, mendorong, dan
memangkalnya dipinggir jalan dan jualan seperti biasa? Bukankah hujan seperti
ini biasanya orang-orang lebih memilih mengurung diri di rumah dan males
keluar? Apakah penjual ini tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
seperti ini? Ah, sudahlah.
06.00
Hujan mulai merintik, rasa
penasaran akan penjual bolang-baling ini memaksa saya keluar rumah melongok ke tempat dia biasa mangkal,
ternyata benar jualan.
Saya sodorkan uang 3000 perak, “udan-udan tetep dodolan mas?” (“hujan-hujan tetap jualan mas?”) pertanyaan goblok
basa-basi yang sebenernya tidak perlu dijawab. “iyo mas, tapi angine gedhe dadi nggo nggoreng angel, mobat-mabit
genine” (“iya mas, tapi anginnya
besar jadi buat menggoreng jadi susah, apinya kena angin terus”) jawab masnya
sambil memasukkan 5 bolang-baling ke kantong plastik tipis hingga menyisakan
beberapa potongan saja di “etalase” gerobak sederhananya.
Kaos yang basah tanpa jas hujan,
gerobak sederhana ber-atap-kan terpal membuat saya merasa kerdil dihadapan
penjual bolang-baling ini. “iki mas,
kesuwun” (“ini mas, terimakasih”), suara yang membuyarkan lamunan singkat saya,
“oiyo, kesuwun” (iya, terimakasih) balas saya singkat.
06.15
Hujan kembali menderas, bolang-baling
dan secangkir kopi menemani pagi kali ini.
Pelajaran berharga dari penjual
bolang-baling, disaat hujan di pagi buta yang lain susah “mendorong” diri buat
bangun pagi, dia malah asik mendorong gerobaknya.
Disaat saya sibuk menanyakan “apa
iya hujan deras begini jualan? Masa iya dari rumah yang jaraknya lumayan jauh
dia rela hujan-hujanan buat ambil gerobak, mendorong, dan memangkalnya
dipinggir jalan dan jualan seperti biasa? Bukankah hujan seperti ini biasanya orang-orang
lebih memilih mengurung diri di rumah dan males keluar? Apakah penjual ini
tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini?” dia malah yakin
jika hujan adalah anugerah Tuhan, dan rejeki juga Dia yang mengaturnya.
06.40
Tak terasa sudah gigitan terakhir
bolang-baling kedua yang saya makan pagi ini, tampak dari jendela samping sekelebat
orang mendorong gerobak kosong menuju halaman tetangga belakang rumah, dan
memarkirnya seperti biasa. Tak berapa lama, tampak orang mengkayuh sepeda
dengan jas hujan seadanya.
0 komentar:
Posting Komentar