Minggu, 19 Januari 2014

Hujan, Penjual Bolang-baling, dan Saya


04.45
Suara seperti dorongan gerobak membuat saya terjaga, suara yang terdengar lebih keras dari suara air hujan pagi ini memaksa saya bangun lebih awal meskipun ini adalah hari minggu, hari yang sebagian orang menyebutnya sebagai hari leyeh-leyeh nasional.

Dinginnya pagi membuat saya enggan “bersahabat” dengan kamar mandi kali ini, ditambah hasil seri pertandingan Liverpool dinihari tadi semakin meyakinkan saya kalau melanjutkan tidur dan leyeh-leyeh di atas kasur adalah keputusan paling bijak realistis saat ini, apalagi dirumah lagi sendirian, cocok!. Tapi saya masih punya hutang, hutang buat mandi pagi ini setelah kemarin sore absen untuk tidak mandi dengan alesan klasik, dingin!

*masak air*

05.30
Tampak dari jendela samping rumah hujan di luar masih deras, mata saya tertuju ke halaman rumah tetangga yang biasanya disewakan buat tempat “parkir” gerobak penjual bolang-baling. Halamannya kosong, rupanya suara dorongan gerobak subuh tadi adalah suara gerobak penjual bolang-baling. Tapi apa iya hujan deras begini jualan? Masa iya dari rumah yang jaraknya lumayan jauh dia rela hujan-hujanan buat ambil gerobak, mendorong, dan memangkalnya dipinggir jalan dan jualan seperti biasa? Bukankah hujan seperti ini biasanya orang-orang lebih memilih mengurung diri di rumah dan males keluar? Apakah penjual ini tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini? Ah, sudahlah.

06.00
Hujan mulai merintik, rasa penasaran akan penjual bolang-baling ini memaksa saya keluar rumah melongok ke tempat dia biasa mangkal, ternyata benar jualan. 

Saya sodorkan uang 3000 perak, “udan-udan tetep dodolan mas?”  (“hujan-hujan tetap jualan mas?”) pertanyaan goblok basa-basi yang sebenernya tidak perlu dijawab. “iyo mas, tapi angine gedhe dadi nggo nggoreng angel, mobat-mabit genine”  (“iya mas, tapi anginnya besar jadi buat menggoreng jadi susah, apinya kena angin terus”) jawab masnya sambil memasukkan 5 bolang-baling ke kantong plastik tipis hingga menyisakan beberapa potongan saja di “etalase” gerobak sederhananya.
Kaos yang basah tanpa jas hujan, gerobak sederhana ber-atap-kan terpal membuat saya merasa kerdil dihadapan penjual bolang-baling ini. “iki mas, kesuwun” (“ini mas, terimakasih”), suara yang membuyarkan lamunan singkat saya, “oiyo, kesuwun” (iya, terimakasih) balas saya singkat.

06.15
Hujan kembali menderas, bolang-baling dan secangkir kopi menemani pagi kali ini.

Pelajaran berharga dari penjual bolang-baling, disaat hujan di pagi buta yang lain susah “mendorong” diri buat bangun pagi, dia malah asik mendorong gerobaknya.
Disaat saya sibuk menanyakan “apa iya hujan deras begini jualan? Masa iya dari rumah yang jaraknya lumayan jauh dia rela hujan-hujanan buat ambil gerobak, mendorong, dan memangkalnya dipinggir jalan dan jualan seperti biasa? Bukankah hujan seperti ini biasanya orang-orang lebih memilih mengurung diri di rumah dan males keluar? Apakah penjual ini tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti ini?” dia malah yakin jika hujan adalah anugerah Tuhan, dan rejeki juga Dia yang mengaturnya. 

06.40
Tak terasa sudah gigitan terakhir bolang-baling kedua yang saya makan pagi ini, tampak dari jendela samping sekelebat orang mendorong gerobak kosong menuju halaman tetangga belakang rumah, dan memarkirnya seperti biasa. Tak berapa lama, tampak orang mengkayuh sepeda dengan jas hujan seadanya.









Baca Juga Koleksi Artikel Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar